Senin, 06 Juni 2011

Re: Menembak Mata

*
lalu jejak pelangi kian samar
tersapu kaki senja
langit berpamit pada awan
memasuki pintu malam
tinggal kita yang masih berdiri
melepas itu semua pergi

*puisi balasan rame-rame dengan teman-teman Buma
(puisi postingan Om Henry)

Mei 2011

Re: Menyembah

*
Tuhan mengibarkan nama
ketika jemarimu melambai
dari puncak stupa
sunyi mengetuk pintu candi
doa memelukmu di hening samadi

biarkan waktu tetap menandainya
sebagai rahasia
lelaku yang kau dermakan
di jalanNya


*Puisi balasan rame-rame dengan teman-teman Buma
(puisi postingan Om Henry)

Mei 2011

Selasa, 05 April 2011

Rumah Cinta

Telah kubangun sebuah rumah
di dalam lubuk paling rahasia
untuk nanti kita tempati bersama
dengan naungan atap rindu semata

telah pula kuanyam tikar-tikar kesetiaan
tempat berbaring hati kita yang bertautan
sembari mendekap mimpi di keheningan
meretas benang-benang sepi di kesunyian

lalu kita rimbunkan sebuah taman
sarang bagi kekupu dan kekumbang
mencecap serbuk sari kasmaran
menetesi kita madu cinta yang terkenang-kenang

____________


Jakarta, 23 Maret 2011 (18 Rabi’ul Akhir 1432 H)

Di Perjalanan Ini Aku Tersedu

Memasuki perjalanan ini
kududukkan kata-kata
di bangku-bangku yang tertata
:melajulah doa-doa

di kiriku trotoar dan halte-halte
mulai kulewatkan
di kananku nasib dan takdir
tak henti berkejaran

di depanku rambu-rambu adalah waktu
namun dari belakangku
jejak-jejak merintih ngilu
:menagih pertanggungjawabanku

meneruskan perjalanan ini
tubuh telah berlumut debu
hati terus tersedu
:maha duka mengejarku


Jakarta, 02 april 2011 (Rabi’ul Akhir 1432 H)

Re: Pesan Suara

“Petang” *

Konon suara-suara merubung rembang petang
entah kidung burung-burung yang pulang
pun bisikan-bisikan halus para mambang
seperti pesan-pesan para orang tua
bergegaslah kita menutup pintu dan jendela
guna menggenapi senja yang runduk berdoa


Jakarta, 01 April 2011 (Rabi’ul Akhir 1432 H)


*Puisi balasan buat teman kekom

Re: Metamorphosis

“Kupu-kupu”*

Dan di cabang-cabang rimbun
di pucuk-pucuk dedaun
ibuku merajut palung
lalu menempatkanku dalam kandung
hingga tiba angin senja
membuat ibuku merapalkan doa
janinku pun mekar
semakin membesar
lalu ibuku melahirkanku dengan
peluh dan tangisan sabar
kemudian melepasku terbang
membuahi sari cinta dari kembang ke kembang


Jakarta, 01 April 2011 (Rabi’ul Akhir 1432 H)

*Puisi balasan buat teman kekom

Rabu, 30 Maret 2011

Menuju Batas Arah

dari pangkal arah
derap hati menghela lungrah

dari utara lembah
angin memikul jutaan desah

lajur pematang mengukur larik sawah
pasangan petani tepekur menanami kisah

di lantai-lantai tanah
anak-anak memimpikan sekolah

di lubuk periuk nasi tinggal setengah
dan ikan-ikan belum lah singgah
dari rumah ke rumah

menuju batas arah
pintu langit pecah
:menyambut segala yang tengadah


Jakarta, 29 Maret 2011 (24 Rabi’ul Akhir 1432 H)

Bersepi di Mimpi

Dari setangkai sunyi
mekarlah sekelopak sepi
mengabarimu perihal mimpi

mimpi yang serupa kelana burungburung
merubung pagi hingga petang menabur kidung

dari akar malam
tumbuhlah batangbatang kelam
merimbuni relungrelung suram

lalu dari cungkup samudra ombak menggulung
deru angin menajamkan beliung
melesatkan sepi memintasi lembah dan gunung

menuju puncak tertinggi:
tempat bagi segala mimpi dan nyeri bergantung


Jakarta, 17 Maret 2011 (12 Rabi’ul Akhir 1432 H)

Re: Sosok Itu

Namun masih ada satu pintu
yang kutinggalkan untukmu
bukalah

Di sana kenangan telah kutanam
menjadi buah
petiklah

Ia akan menghidupimu
memberimu mimpimimpi baru
bangkitlah

Mimpi yang akan mengantarmu
menatah sejarah
yang pernah patah


*Puisi balasan rame-rame teman2 Buma (puisi asli fairtale862000)


Jakarta, 30 Maret 2011 (25 Maret 1432 H)

Re: Melawan Hujan

lalu dari matamu
biji hujan berjatuhan
meraut sepinya waktu
menupang hampa dan rindu


*Puisi balasan rame-rame buma (puisi asli Mas Khamid Istakhori)


Jakarta, 30 Maret 2011 (25 Rabi'ul Akhir 1432 H)

Re: apakah cinta ini?

seperti kau menunggu balasan
dari pesan yang kau kirimkan
dag..dig..dug
dag...dig...dug

sebelum kemudian
akankah kau teruskan
dalam rasa cemas juga harapan

karena kau akan ikut hanyut
gelombang pasang surut

*Puisi balasan rame-rame buma (puisi asli my Mus Art)


Jakarta, 30 Marte 2011 (25 Rabi'ul Akhir 1432 H)

Re: Teman

Dan tibalah musim itu
bumi diselimuti salju, katamu
hanya wajah-wajah dingin
dalam mantel-mantel tebal berbulu
berkelebat ke segala arah
mencari anggur yang tumpah


*Puisi balasan rame-rame dengan teman2 Buma (puisi asli Naz: Teman)


Jakarta, 30 Maret 2011 (25 Rabi'ul Akhir 1432 H)

Rabu, 23 Februari 2011

Kepada Para Sufi

Adakah yang lebih muram
dari wajah langit yang mengusung
kematian

hingga jemari malam tergetar menimang
seribu luka menggenang
luruh
kedalam cungkup subuh

adakah yang lebih duka
dari sebuah kidung nestapa

ketika zikirmu menelusup lamat jantung pasir
dan seribu taman cinta merangkummu
kedalam cungkup-cungkup takdir

dimana bisa kutangkup isyarat agung
yang kau toreh di helai sorbanmu
memahat rapat batu-batu sunyi
melesatkan wangi kidungmu
ke cungkup yang paling tinggi

matahari adalah seri suci
dan kidungmu adalah nubuat
yang terberkati

Jakarta, Syawal 1431 H

Selasa, 22 Februari 2011

Tawanan Cinta

air mataku kian luruh
hatiku telah jatuh
ke lembah cintaMu ya Rabbi

segala luka
kidung nestapa
memburai gemulai kedalam cahaya
melesat bersama matahari
menukilkan seri abadi

aduhai rindu
betapa keras kuketuk pintumu
telah tandas kusesap candumu

awan-awan putih
embun-embun jernih
adalah syair cinta yang dalam kugali
dari cungkup sukma
yang paling bersih

hingga betapa aku merasa malu
seperti bidadari
tertawan birahi
di altarMu ya Rabbi


Jakarta, Syawal 1431 H

Hujan Senja

Terperangkap pada silap
matamu yang jingga
lantas kuberkaca
menekuri tubuhku
yang hanya berupa butiran-butiran kecil
namun sanggup menitisi pundakmu
yang semula ungu
kini menjadi biru
serupa kuncup perdu
yang malu
menahan usapan getar
jemariku

lantas di tepian samudra sana
wajahku bersujud
mencium kening laut

hingga dari gerbang dadaku
perlahan membuka
sebuah taman cahaya
yang kau panggil bianglala


Jakarta, 22 Februari 2011 (19 Rabi’ul Awal 1432 H)

Pelangi

Asal muasal warnamu adalah matahari yang bersarang di pelupuk hujan yang datang.

Lalu malaikat berkelebat dalam kilat, mendekap doadoa yang terucap, melesatkannya ke palung samudra. Menyuling rerupamu dalam balutan kecantikan sebegitu rupa,
melampaui tujuh kerling cahaya.

Dan aku, hanyalah seonggok kepiting. Bersarang dan berbaring di dada karang dan liang-liang hening, tak lelah mengejarmu hingga ke ujung samudra. Dimana ombak berderak sedia mendamparkanku, mencelupkan nadi cintaku ke lekuk tumitmu hingga menjadi ungu, serona malu,
di pipi senja.

Walau tak kumungkiri kau tidak akan mengerti. Bagaimana perjuanganku menggapaimu. Lantaran aku begitu jauh tersembunyi. Tersembunyi di tubir mimpi, di gigir sepi, melubangi karang menjadi liangku sendiri.

Sementara kawanan burung dari manyar, camar hingga kelelawar, tak hentihenti mengejar dimana pangkalmu berdiri dan lengkungmu menepi.

Melambaikan kelezatan rindu yang seperti tak pernah usai
bagiku
dan bagi mereka yang telah sampai
beruluk salam pada pantai.

Jakarta, 8 Desember 2010 (02 Muharam 1432 H)

Pitutur Padi

Semula aku adalah benih
yang kau semai dengan doa-doa lirih

lalu hujan jatuh berderak
mengajak cangkulmu menyalami sawah sepetak

tak kutemu musim melangkah mundur
namun tidak denganmu kala tandur

hingga kau pun rela bergelung dalam saung-sinung menjagaku
dari sergapan hama wereng hingga belitan benalu

agar tubuhku mumpuni tumbuh merunduk meninggi
merunduk meninggi menaungi isi

mangajar ilmu hidup yang hakiki
yang sabar kau hirup lewat harum jerami

lalu musim berganti
Tuhan me-rahmati

mengisi celung lesungmu
dengan biji-bijiku yang serupa bentuk

benih-benih yang kau semai
dengan serbuk-serbuk doa yang tawadu’


Jakarta, 05 Januari 2010 (29 Muharram 1432 H)

Menuju Subuh

Telah Engkau rengkuh
kami kedalam malamMu
yang teduh

lalu Engkau buai kami
dengan lantunan tembangtembang mimpi
bertasbih bersama langit-bumi
berzikir bersama dedaun
merajut butiran embun

untuk bersama
kami menziarahi subuh
tempat bersuci bagi segala ruh

dan tempat segenap dosa-dosa kami
bersimpuh….


01 Februari 2011 (Shofar 1432 H)

Kidung Kahuripan

Elingo marang sing gawe urip lan patimu
sanadyan priyayi iku dadi trah sliramu
sing kawit alit di among pambayun
ojo banjur gedhe sopo siro sopo ingsun

ora ono pangkat tur drajat
sing bisa mumpuni ing lelakuning diri
anamung iman, taqwa ugi luhuring budhi
sing sejatining bakal dipun tampi
dening Gusti Allah ingkang maha penyipat
ing sedayaning dumadi…


‘Ashar, 02 Maret 2009

Pergi

Aku telah berjanji bahwa suatu hari nanti aku akan pergi. Meninggalkan waktu, percakapan, dan juga sepi. Dan aku akan menepati janjiku itu seperti hati yang tak pernah mendustai. Jangan cemaskan tentang putih, hijau, dan ungu. Warna langit dan taman-taman persinggahanku.
Karena mereka tak kan merasa kehilangan. Karena telah cukup mereka memberiku naungan. Dan tentang segala yang ada padaku nanti juga kulepaskan.
Seperti halnya mimpi yang harus tanggal, kepergian itu pun tak bisa kusangkal. Dan kau juga pasti mengerti. Seperti pagi yang ikhlas melepas matahari. Seperti hitam dan abu-abu yang mengikuti…


31 Maret 2010 (15 Rabiul Akhir 1431 H)

Pada hening

Aku ingin rebah di dadamu
menghirup segar nafas khusyu’mu
mencuri debar ketenanganmu
Yang rapi kau simpan, di dalam selimut diam

ada senyum samar, mekar
di kedut bibirmu
ketika kelopak rembulan ranum berpijar
ketika putik-putik bintang menyemut berpendar
jatuh menghujani tubuhmu
sehingga aromamu yang sunyi
tercium lebih wangi

aku juga ingin belajar
pada hikmat kesabaranmu, pada lamat warnamu
selagi purnama belum bertakhta
selagi gugusan bintang belum meraga
kau sambut salam dan percakapan di dalam senyap
kau peluk rintih dan pinta di dalam lindap.

Kau, hening, yang merajai dingin
berjalanlah ke arahku
aku ingin memaknai semua itu
sehingga menjadi sepertimu:
khusyu’, tenang dan wangi
dan dari lubukmu mengalir damai

11 Rabiul Akhir 1431 H (27 Maret 2010)

Senin, 07 Februari 2011

Cinta (Di Mihrab RidhaMu)

angan terus berjalan
menelisik lembar-lembar kenang
sementara awan terkadang melintas
mengabarkan nyanyian hujan
di lembah-lembah mimpi

dan jemari waktu terulur
menangkup sulur-sulur sepi
yang gigil menjuntai
di kerapuhan rindu

lalu angan terhenti
bersimpuh menunggu
cinta yang berkhalwat
di mihrab ridhoMu


Waktu dzuhur, 16 Juli 2009

Riwayat Para Kembang

Setelah diajar akalku untuk sampai mengurai riwayatmu dari zaman ke zaman dari lisan ke firman, kiranya tahulah aku kenapa mereka menjadikanmu pujaan, dambaan sekaligus incaran.

Coba kita seksama simak apa yang telah tersamak atas riwayatmu yang telah menjalar dari ubun ke benak dari daun ke semak dari fajar yang mulai merangkak hingga senja berkumandang menyeru remang petang serentak menggulung siang. Dan malam bergeming dalam hening merangkul kelam mengejawentah kalam.

Engkau di baiat di tempat yang tak terlihat. Menjadi yang rupawan. Penerima gelar keindahan. Sumber keharuman. Obat mujarab perekat lara rindu dan cinta tak tertahankan. Pelengkap mantra dan rapalan doa berkhusyu’ masyuk mencucup kuduk sepasang pengantin di pelaminan.

Lalu para begawan menafsirkan engkau terlahir dari hasil pembuahan sang putik kesuburan dengan seekor kumbang jantan. Setelah sigap menyesap air susu sendang di taman sorga Tuhan. Kemudian angin jauh menerbangkanmu. Jauh melampaui jutaan malam yang teguh menjaga subuh. Dan mendamparkanmu di lembah yang belum pernah tersentuh. Untuk menawarkan kesedihan. Kesedihan tak tertahankan. Melampaui jutaan tahun tangisan.

Sejak pertama Adam di turunkan.

Jakarta, 06 Desember 2010 (29 Dzulhijjah 1431 H)

Hikayat Mawar

Duh Gusti, ampuni aku jika dalam kelangsungan pertumbuhanku ada sedih yang mengakar, ada getir yang mengudar. dari rekahnya kelopakku, dari harumnya putikku.

Telah kupenuhi palung sunyi di pangkal kelopakku dengan sari putih cinta yang menetes dari sarimu. agar sari pati cintaku rekah dengan berkah, agar putik-putik ranumku melahirkan tunas-tunas bernah.
agar kuncup-kuncupku memekarkan seloka putih, kuning juga merah. merubah kelam menjadi cerah. melantunkan duka menjadi madah. hingga debu tak lagi menoktah di cabang-cabang resah.

Namun malang sungguh tak mampu kudulang ke lembah sebrang. tatkala kumbang-kumbang jantan berdatangan. berebut berdesakan, memagut menandaskan sari pati cintaku dari celah ranum bibirku yang paling lembut memaut namamu.

Selembut kupu-kupu mengepakkan sayap-sayap rindu paling candu, dengan syair cinta paling merdu.
ke setiap helai daunku, ke setiap ruas rantingku dan ke seluruh kulit batangku. hingga angin pun tergetar menderu, menebarkan wangi cintaku ke langit paling tinggi. melampaui istana bidadari. menjumpaimu di seribu taman mimpi.

Namun kini aku terjatuh ke lembah paling sunyi. dengan duri-duri tajam memagari. setelah kumbang-kumbang tualang melesat pergi dan hanya menyisakan sepotong perih pada kelopakku yang koyak dan layu. lantas bagaimana bisa aku membawa rerupaku melintasi subuh. memberimu suguhan cinta paling utuh. dan menghidangkan embun-embun jernih ke hadapan fajar yang putih.

sedang sedih ini telah di mulai dan getirpun siap kutuai
dari sini
Duh Gusti…

Jakarta, Oktober 2010

Kembang Kopi

Lalu ranting-ranting kopi yang liat
memekarkan kuncup-kuncup wangi
menggugurkan dingin yang pekat
di mula pagi

hingga laku kita seperti hendak terhenti
menekuri garis-garis kembara muda yang telah menyatu
dengan segala warna
seperti mencoba mengeja sebuah pesan yang singgah
lalu lekat menyelubungi kedua mata

pesan yang seperti uap tipis
melesat ringan sebelum kau tepis

kemudian kita melihat helai-helai daun merunduk
lalu gugur dengan tawadu’
mengabarkan kepada tanah
dan setiap langkah

bahwa segala sembah sujud menjadi akar
yang lalu mengurai dalam kehangatan fajar
membawa sejumput iman kita
turut mendaki matahari
yang semakin meninggi

membenamkan kita kedalam lunglai
menyangga segala kealpaan diri


Blitar, Syawal 1431 H

Kenanga

Kelopakmu jatuh satu-satu
dari batang yang menjulang
dari musim yang mengajakmu
kembali berpulang

matahari telah membagimu kuning yang merata
angin menitipkanmu wewangian surga

biarkan kupunguti helai-helaimu yang terpisah
tersembunyi di kaki-kaki perdu
membebaskanmu dari celah-celah batu
dan tak perlu kau peram duka
pada tanah merah
yang basah oleh embun-embun doa

angin telah mengabarkan wangimu
pada pintu-pintu pusara


Blitar-Jakarta, Syawal 1431 H

Dermaga Sepi

Di senja yang datang kembali
kutangkup kilasan angin
meninggalkan perigi
dermagamu sepi

kulihat debur ombak berderak
menggugurkan buih
dan punggung karang tegak
menampung jeritan camar
yang sedih

seorang penyair meminjam pasirmu
rumah bagi para kepiting dan kerang
sebagai lantunan tembang
rindu yang hilang
dan membawanya kepada lembaran malam
dimana senyap akrab mendekap tangis
hujan yang turun kemudian

oh, lihatlah dermagamu kini menua
dan penyair itu mulai kehabisan kata
lantas apa yang bisa kubawa
untuk pergi
sebelum langit pecah
menggugurkan pagi


Jakarta, Syawal 1431 H

Karang Sunyi

Karang menegur lautan
ombak melepas sampan
menuju pesisir

angin meniup jejak camar
di ufuk senja menabur pelangi
jemari lautan menggapai takdirmu
melampaui sunyi

menitik buih ruh kedalam sukmamu
mengusap kikisan luka, serupa getar cinta
dalam kau sembunyikan
sejak kau tumbuh
bersama lautan

tapak kepiting dan kerang menggenang
di liang-liangmu
serupa pahatan terumbu
terkekalkan oleh waktu

lalu di pantaimu kutitipkan segala perih
bersama desah ombak
mendekap sunyi rindumu
yang sedih


Jakarta, Oktober 2010

Nyanyian Perigi

Di ceruk perigi
di sepi pagi
laut menggelar sujud
karang dan gelombang
saling berpaut

sekumpulan camar terbang rendah
dari paruhnya kesedihan berkisah
seekor merpati menukik lalu meninggi
entah kemana pasangannya pergi
sedang jarak terlalu jauh
dari tepi

petangnya ombak mendamparkan wangi garam
orang-orang pesisir yang kemudian pulang
mendekap sirip-sirip sungsang
maka rekahlah bibir tumang
mencium hangat pada dingin arang

para ibu menyaji kuali
sedap meluap di tungku-tungku
yang terberkati

malamnya anak-anak nelayan memeram kidung
di riap kerudung
di tangkup sarung
mengaji mimpi di ceruk perigi
mencuri nur dari ruh Illahi


Jakarta, Oktober 2010 (Dzulqa’idah 1431 H)


Makrifat Hati

Adalah syukur
tempat rasa berbaring tenang
ketika getar hati berkecamuk, menggelombang

dan biarkan lengan pagi yang mengayun butiran embun
hingga bergulir, jatuh ke pangkuan tanah
menyapu debu-debu ragu diantara genangan resah

adalah malam
yang membiarkan angan
melukis sendiri warna-warna senyap
dan menggantungkannya di dinding kenang yang mulai kusam
namun tatap nyaman sebagai sandaran rindu yang bisu

lalu tuntun aku meletakkan sejumput rasa ini
di atas sulaman lembut benang-benang ikhlas
dan menjadikannya sebagai tirai penghias
diambang pintu lorong hati, yang tersembunyi


2009

Luruh

dan awan-awan putih
juga embun-embun jernih
perlahan pergi
meninggalkan doa-doa wangi
mengisi penuh cungkup hati
yang paling bersih

biarkan kami eja
asmaMu
di lubuk suluk paling rindu
yang tergenangi seribu sedih
juga seribu gurat luka
yang perih

lalu lesatkan diri kami
dari tempat paling rendah
hingga mampu menatap parasMu
di puncak paling habbah

Jakarta, 27 Januari 2011 (21 Shofar 1432 H)

Fragmen Pagi

pada sebuah malam yang kau singgahi
adakah kau temu pembaringan
yang paling sepi

hingga dingin membalurimu senyap
bintang di atap menjatuhimu sekejap kerlap

kemudian kau memanggilku
dari tepian arah
mengajak kita bersama rebah
membiarkan luka-luka ini luruh
terbasuh gerimis yang membawa kita menziarahi subuh

maka bersemailah segala ruh

pada waktu dan musim tiba menuai tanggal
beri aku tanda darimu
pembuka pintu bagi segala sesal
sebelum matahari membakar
fajar yang tinggal sejengkal


Jakarta, November 2010 (Dzulhijjah 1431 H)

Di Tanjung Benoa

Setelah melampaui jalanan
dengan barisan batu berukir
sampailah perjalanan
di pantai berpasir

lautan biru
senyum dan tawa awakawak perahu

ada jejak langkah bergambar kepiting dan kerang
beberapa banana boad juga kasur terbang
menyemburkan percikanpercikan doa ke awan
wajahwajah merunduk menekuri tarian para ganggang
roti pun segera di bagikan

lalu matahari di atas perak
dermaga tuntas terhempas gelak
dan ombak bergegas menepikan jarak

orangorang riuh menghitung doa dan waktu
menitipkannya di kantung jantung penyu


Sanur, Desember 2010 (Muharram 1432 H)

Selasa, 18 Januari 2011

Senja, Malam dan Pagi

(1)
…dan senja mulai menampakkan diri
dengan rambut jingganya yang terurai

menyambut burung-burung datang
dari arah terbit matahari
membawa nyanyian merdu

yang di cipta oleh pagi
lewat tawa para bidadari…

(2)
Aku ingin rebah di dada malam
yang hening
tempat ia menyimpan butiran
embun bening

yang akan ia letakkan
di kelopak mata pagi
ketika gerbang langit membuka
oleh kuning cahaya

lalu biarkan aku tetap menyimpan
embun bening itu
di hening dadaku

walau pagi akan berlalu
walau mentari semakin berjarak
dariku…

(3)
Pagi yang putih.
Telah menyisakan seuntai senyum
pada matahari yang lamat mendaki
pada kisah hari yang telah di mulai

angin datang membawa kabar
daun-daun dan kelopak pun menebar
lalu tanah menanam biji dan benih
di dalam rahim akar

begitulah kehidupan berjalan
dan kisah waktu terus berputar

seperti rindu yang mendebar
memaut lembut rasa kasih yang sabar
menanti waktu perjumpaan…


Rabiul Akhir 1431 H (Maret 2010)

Pada Sebentuk Rindu

Kaukah itu , yang musim kemarin mendatangiku
berdiri di kejauhan
menari dalam iringan
denting irama hujan

lalu kulihat angin singgah
menggugurkan kelopak dan daun-daun
meninggalkan lanskap tak beraturan
pada sebidang tanah yang basah
menupang pokok-pokok pohon

terdengar lamat suara memanggil
seperti sekelebat bayangan
terlahir dari nyanyian
dalam ayunan gending-gending
bermusim-musim kemarin

akh, musim yang memekarkan semak-semak rindu
bagai usapan jemari ibu
mengukirkan guratan tawa
di ruang keluarga kita


09 Juni 2010 (Jumadil Akhir 1431 H)

Makrifat Hati

Adalah syukur
tempat rasa berbaring tenang
ketika getar hati berkecamuk, menggelombang

dan biarkan lengan pagi yang mengayun butiran embun
hingga bergulir, jatuh ke pangkuan tanah
menyapu debu-debu ragu diantara genangan resah

adalah malam
yang membiarkan angan
melukis sendiri warna-warna senyap
dan menggantungkannya di dinding kenang yang mulai kusam
namun tatap nyaman sebagai sandaran rindu yang bisu

lalu tuntun aku meletakkan sejumput rasa ini
di atas sulaman lembut benang-benang ikhlas
dan menjadikannya sebagai tirai penghias
diambang pintu lorong hati, yang tersembunyi


2009

Kepada Samudera Biru

Sekumpulan camar terbang melintas
di atas hamparan birumu yang tanpa riak
hanya buih-buih kecil putih perlahan berarak

kini kawanan camar itu menjadi titik-titik siluet
hingga hilang lepas dari pandanganku
dan kembali aku terpaku kepada samudera biru
kepada keindahannya yang selalu menyihir hatiku

lalu perlahan aku berbalik kearah datangku
menunduk, menapaki kembali samar jejakku
seiring detak hatiku yang tak berhenti mengingatmu
dan mengerti akan rindumu kepada samudera biru


Jumat, 06 Februari 2009

Meratapi Sebuah Negeri

pohon-pohon telah tumbang
keadilan habis di tebang
kerontang bumiku

suara-suara terbekap
tangisan tak lagi mengucur
terbenam di kedalaman lumpur

kemana jalannya para nurani
terlampau jauhkah mereka berpaling
dari paras Sang Maha Tinggi

dan jika surat kejujuran
berbalas undangan dakwaan
bagaimana seharusnya berkirim kabar kebenaran

keletihan panjang
wajah-wajah berjuang
di negeri ini
pertautkan kami dengan kesabaran
di antara jeruji-jeruji kemiskinan

menjelang senja, 24 Juni 2009