Senin, 07 Februari 2011

Cinta (Di Mihrab RidhaMu)

angan terus berjalan
menelisik lembar-lembar kenang
sementara awan terkadang melintas
mengabarkan nyanyian hujan
di lembah-lembah mimpi

dan jemari waktu terulur
menangkup sulur-sulur sepi
yang gigil menjuntai
di kerapuhan rindu

lalu angan terhenti
bersimpuh menunggu
cinta yang berkhalwat
di mihrab ridhoMu


Waktu dzuhur, 16 Juli 2009

Riwayat Para Kembang

Setelah diajar akalku untuk sampai mengurai riwayatmu dari zaman ke zaman dari lisan ke firman, kiranya tahulah aku kenapa mereka menjadikanmu pujaan, dambaan sekaligus incaran.

Coba kita seksama simak apa yang telah tersamak atas riwayatmu yang telah menjalar dari ubun ke benak dari daun ke semak dari fajar yang mulai merangkak hingga senja berkumandang menyeru remang petang serentak menggulung siang. Dan malam bergeming dalam hening merangkul kelam mengejawentah kalam.

Engkau di baiat di tempat yang tak terlihat. Menjadi yang rupawan. Penerima gelar keindahan. Sumber keharuman. Obat mujarab perekat lara rindu dan cinta tak tertahankan. Pelengkap mantra dan rapalan doa berkhusyu’ masyuk mencucup kuduk sepasang pengantin di pelaminan.

Lalu para begawan menafsirkan engkau terlahir dari hasil pembuahan sang putik kesuburan dengan seekor kumbang jantan. Setelah sigap menyesap air susu sendang di taman sorga Tuhan. Kemudian angin jauh menerbangkanmu. Jauh melampaui jutaan malam yang teguh menjaga subuh. Dan mendamparkanmu di lembah yang belum pernah tersentuh. Untuk menawarkan kesedihan. Kesedihan tak tertahankan. Melampaui jutaan tahun tangisan.

Sejak pertama Adam di turunkan.

Jakarta, 06 Desember 2010 (29 Dzulhijjah 1431 H)

Hikayat Mawar

Duh Gusti, ampuni aku jika dalam kelangsungan pertumbuhanku ada sedih yang mengakar, ada getir yang mengudar. dari rekahnya kelopakku, dari harumnya putikku.

Telah kupenuhi palung sunyi di pangkal kelopakku dengan sari putih cinta yang menetes dari sarimu. agar sari pati cintaku rekah dengan berkah, agar putik-putik ranumku melahirkan tunas-tunas bernah.
agar kuncup-kuncupku memekarkan seloka putih, kuning juga merah. merubah kelam menjadi cerah. melantunkan duka menjadi madah. hingga debu tak lagi menoktah di cabang-cabang resah.

Namun malang sungguh tak mampu kudulang ke lembah sebrang. tatkala kumbang-kumbang jantan berdatangan. berebut berdesakan, memagut menandaskan sari pati cintaku dari celah ranum bibirku yang paling lembut memaut namamu.

Selembut kupu-kupu mengepakkan sayap-sayap rindu paling candu, dengan syair cinta paling merdu.
ke setiap helai daunku, ke setiap ruas rantingku dan ke seluruh kulit batangku. hingga angin pun tergetar menderu, menebarkan wangi cintaku ke langit paling tinggi. melampaui istana bidadari. menjumpaimu di seribu taman mimpi.

Namun kini aku terjatuh ke lembah paling sunyi. dengan duri-duri tajam memagari. setelah kumbang-kumbang tualang melesat pergi dan hanya menyisakan sepotong perih pada kelopakku yang koyak dan layu. lantas bagaimana bisa aku membawa rerupaku melintasi subuh. memberimu suguhan cinta paling utuh. dan menghidangkan embun-embun jernih ke hadapan fajar yang putih.

sedang sedih ini telah di mulai dan getirpun siap kutuai
dari sini
Duh Gusti…

Jakarta, Oktober 2010

Kembang Kopi

Lalu ranting-ranting kopi yang liat
memekarkan kuncup-kuncup wangi
menggugurkan dingin yang pekat
di mula pagi

hingga laku kita seperti hendak terhenti
menekuri garis-garis kembara muda yang telah menyatu
dengan segala warna
seperti mencoba mengeja sebuah pesan yang singgah
lalu lekat menyelubungi kedua mata

pesan yang seperti uap tipis
melesat ringan sebelum kau tepis

kemudian kita melihat helai-helai daun merunduk
lalu gugur dengan tawadu’
mengabarkan kepada tanah
dan setiap langkah

bahwa segala sembah sujud menjadi akar
yang lalu mengurai dalam kehangatan fajar
membawa sejumput iman kita
turut mendaki matahari
yang semakin meninggi

membenamkan kita kedalam lunglai
menyangga segala kealpaan diri


Blitar, Syawal 1431 H

Kenanga

Kelopakmu jatuh satu-satu
dari batang yang menjulang
dari musim yang mengajakmu
kembali berpulang

matahari telah membagimu kuning yang merata
angin menitipkanmu wewangian surga

biarkan kupunguti helai-helaimu yang terpisah
tersembunyi di kaki-kaki perdu
membebaskanmu dari celah-celah batu
dan tak perlu kau peram duka
pada tanah merah
yang basah oleh embun-embun doa

angin telah mengabarkan wangimu
pada pintu-pintu pusara


Blitar-Jakarta, Syawal 1431 H

Dermaga Sepi

Di senja yang datang kembali
kutangkup kilasan angin
meninggalkan perigi
dermagamu sepi

kulihat debur ombak berderak
menggugurkan buih
dan punggung karang tegak
menampung jeritan camar
yang sedih

seorang penyair meminjam pasirmu
rumah bagi para kepiting dan kerang
sebagai lantunan tembang
rindu yang hilang
dan membawanya kepada lembaran malam
dimana senyap akrab mendekap tangis
hujan yang turun kemudian

oh, lihatlah dermagamu kini menua
dan penyair itu mulai kehabisan kata
lantas apa yang bisa kubawa
untuk pergi
sebelum langit pecah
menggugurkan pagi


Jakarta, Syawal 1431 H

Karang Sunyi

Karang menegur lautan
ombak melepas sampan
menuju pesisir

angin meniup jejak camar
di ufuk senja menabur pelangi
jemari lautan menggapai takdirmu
melampaui sunyi

menitik buih ruh kedalam sukmamu
mengusap kikisan luka, serupa getar cinta
dalam kau sembunyikan
sejak kau tumbuh
bersama lautan

tapak kepiting dan kerang menggenang
di liang-liangmu
serupa pahatan terumbu
terkekalkan oleh waktu

lalu di pantaimu kutitipkan segala perih
bersama desah ombak
mendekap sunyi rindumu
yang sedih


Jakarta, Oktober 2010

Nyanyian Perigi

Di ceruk perigi
di sepi pagi
laut menggelar sujud
karang dan gelombang
saling berpaut

sekumpulan camar terbang rendah
dari paruhnya kesedihan berkisah
seekor merpati menukik lalu meninggi
entah kemana pasangannya pergi
sedang jarak terlalu jauh
dari tepi

petangnya ombak mendamparkan wangi garam
orang-orang pesisir yang kemudian pulang
mendekap sirip-sirip sungsang
maka rekahlah bibir tumang
mencium hangat pada dingin arang

para ibu menyaji kuali
sedap meluap di tungku-tungku
yang terberkati

malamnya anak-anak nelayan memeram kidung
di riap kerudung
di tangkup sarung
mengaji mimpi di ceruk perigi
mencuri nur dari ruh Illahi


Jakarta, Oktober 2010 (Dzulqa’idah 1431 H)


Makrifat Hati

Adalah syukur
tempat rasa berbaring tenang
ketika getar hati berkecamuk, menggelombang

dan biarkan lengan pagi yang mengayun butiran embun
hingga bergulir, jatuh ke pangkuan tanah
menyapu debu-debu ragu diantara genangan resah

adalah malam
yang membiarkan angan
melukis sendiri warna-warna senyap
dan menggantungkannya di dinding kenang yang mulai kusam
namun tatap nyaman sebagai sandaran rindu yang bisu

lalu tuntun aku meletakkan sejumput rasa ini
di atas sulaman lembut benang-benang ikhlas
dan menjadikannya sebagai tirai penghias
diambang pintu lorong hati, yang tersembunyi


2009

Luruh

dan awan-awan putih
juga embun-embun jernih
perlahan pergi
meninggalkan doa-doa wangi
mengisi penuh cungkup hati
yang paling bersih

biarkan kami eja
asmaMu
di lubuk suluk paling rindu
yang tergenangi seribu sedih
juga seribu gurat luka
yang perih

lalu lesatkan diri kami
dari tempat paling rendah
hingga mampu menatap parasMu
di puncak paling habbah

Jakarta, 27 Januari 2011 (21 Shofar 1432 H)

Fragmen Pagi

pada sebuah malam yang kau singgahi
adakah kau temu pembaringan
yang paling sepi

hingga dingin membalurimu senyap
bintang di atap menjatuhimu sekejap kerlap

kemudian kau memanggilku
dari tepian arah
mengajak kita bersama rebah
membiarkan luka-luka ini luruh
terbasuh gerimis yang membawa kita menziarahi subuh

maka bersemailah segala ruh

pada waktu dan musim tiba menuai tanggal
beri aku tanda darimu
pembuka pintu bagi segala sesal
sebelum matahari membakar
fajar yang tinggal sejengkal


Jakarta, November 2010 (Dzulhijjah 1431 H)

Di Tanjung Benoa

Setelah melampaui jalanan
dengan barisan batu berukir
sampailah perjalanan
di pantai berpasir

lautan biru
senyum dan tawa awakawak perahu

ada jejak langkah bergambar kepiting dan kerang
beberapa banana boad juga kasur terbang
menyemburkan percikanpercikan doa ke awan
wajahwajah merunduk menekuri tarian para ganggang
roti pun segera di bagikan

lalu matahari di atas perak
dermaga tuntas terhempas gelak
dan ombak bergegas menepikan jarak

orangorang riuh menghitung doa dan waktu
menitipkannya di kantung jantung penyu


Sanur, Desember 2010 (Muharram 1432 H)