angan terus berjalan
menelisik lembar-lembar kenang
sementara awan terkadang melintas
mengabarkan nyanyian hujan
di lembah-lembah mimpi
dan jemari waktu terulur
menangkup sulur-sulur sepi
yang gigil menjuntai
di kerapuhan rindu
lalu angan terhenti
bersimpuh menunggu
cinta yang berkhalwat
di mihrab ridhoMu
Waktu dzuhur, 16 Juli 2009
Bissmillahirrahmanirrahim...Ya Allah semoga Engkau membuka hatiku seluas samudera untuk sabar dan ikhlas menyelami Samudera CintaMu yang maha luas dengan ilmuMu dan keridhaanMu dan kelak angkatkan aku dari tempat paling rendah menuju surgaMu tempat paling indah yang dihuni setiap hambaMu yang saleh dan salehah...Amin Ya Allah Ya Robbal 'Alamin
Senin, 07 Februari 2011
Riwayat Para Kembang
Setelah diajar akalku untuk sampai mengurai riwayatmu dari zaman ke zaman dari lisan ke firman, kiranya tahulah aku kenapa mereka menjadikanmu pujaan, dambaan sekaligus incaran.
Coba kita seksama simak apa yang telah tersamak atas riwayatmu yang telah menjalar dari ubun ke benak dari daun ke semak dari fajar yang mulai merangkak hingga senja berkumandang menyeru remang petang serentak menggulung siang. Dan malam bergeming dalam hening merangkul kelam mengejawentah kalam.
Engkau di baiat di tempat yang tak terlihat. Menjadi yang rupawan. Penerima gelar keindahan. Sumber keharuman. Obat mujarab perekat lara rindu dan cinta tak tertahankan. Pelengkap mantra dan rapalan doa berkhusyu’ masyuk mencucup kuduk sepasang pengantin di pelaminan.
Lalu para begawan menafsirkan engkau terlahir dari hasil pembuahan sang putik kesuburan dengan seekor kumbang jantan. Setelah sigap menyesap air susu sendang di taman sorga Tuhan. Kemudian angin jauh menerbangkanmu. Jauh melampaui jutaan malam yang teguh menjaga subuh. Dan mendamparkanmu di lembah yang belum pernah tersentuh. Untuk menawarkan kesedihan. Kesedihan tak tertahankan. Melampaui jutaan tahun tangisan.
Sejak pertama Adam di turunkan.
Jakarta, 06 Desember 2010 (29 Dzulhijjah 1431 H)
Coba kita seksama simak apa yang telah tersamak atas riwayatmu yang telah menjalar dari ubun ke benak dari daun ke semak dari fajar yang mulai merangkak hingga senja berkumandang menyeru remang petang serentak menggulung siang. Dan malam bergeming dalam hening merangkul kelam mengejawentah kalam.
Engkau di baiat di tempat yang tak terlihat. Menjadi yang rupawan. Penerima gelar keindahan. Sumber keharuman. Obat mujarab perekat lara rindu dan cinta tak tertahankan. Pelengkap mantra dan rapalan doa berkhusyu’ masyuk mencucup kuduk sepasang pengantin di pelaminan.
Lalu para begawan menafsirkan engkau terlahir dari hasil pembuahan sang putik kesuburan dengan seekor kumbang jantan. Setelah sigap menyesap air susu sendang di taman sorga Tuhan. Kemudian angin jauh menerbangkanmu. Jauh melampaui jutaan malam yang teguh menjaga subuh. Dan mendamparkanmu di lembah yang belum pernah tersentuh. Untuk menawarkan kesedihan. Kesedihan tak tertahankan. Melampaui jutaan tahun tangisan.
Sejak pertama Adam di turunkan.
Jakarta, 06 Desember 2010 (29 Dzulhijjah 1431 H)
Hikayat Mawar
Duh Gusti, ampuni aku jika dalam kelangsungan pertumbuhanku ada sedih yang mengakar, ada getir yang mengudar. dari rekahnya kelopakku, dari harumnya putikku.
Telah kupenuhi palung sunyi di pangkal kelopakku dengan sari putih cinta yang menetes dari sarimu. agar sari pati cintaku rekah dengan berkah, agar putik-putik ranumku melahirkan tunas-tunas bernah.
agar kuncup-kuncupku memekarkan seloka putih, kuning juga merah. merubah kelam menjadi cerah. melantunkan duka menjadi madah. hingga debu tak lagi menoktah di cabang-cabang resah.
Namun malang sungguh tak mampu kudulang ke lembah sebrang. tatkala kumbang-kumbang jantan berdatangan. berebut berdesakan, memagut menandaskan sari pati cintaku dari celah ranum bibirku yang paling lembut memaut namamu.
Selembut kupu-kupu mengepakkan sayap-sayap rindu paling candu, dengan syair cinta paling merdu.
ke setiap helai daunku, ke setiap ruas rantingku dan ke seluruh kulit batangku. hingga angin pun tergetar menderu, menebarkan wangi cintaku ke langit paling tinggi. melampaui istana bidadari. menjumpaimu di seribu taman mimpi.
Namun kini aku terjatuh ke lembah paling sunyi. dengan duri-duri tajam memagari. setelah kumbang-kumbang tualang melesat pergi dan hanya menyisakan sepotong perih pada kelopakku yang koyak dan layu. lantas bagaimana bisa aku membawa rerupaku melintasi subuh. memberimu suguhan cinta paling utuh. dan menghidangkan embun-embun jernih ke hadapan fajar yang putih.
sedang sedih ini telah di mulai dan getirpun siap kutuai
dari sini
Duh Gusti…
Jakarta, Oktober 2010
Telah kupenuhi palung sunyi di pangkal kelopakku dengan sari putih cinta yang menetes dari sarimu. agar sari pati cintaku rekah dengan berkah, agar putik-putik ranumku melahirkan tunas-tunas bernah.
agar kuncup-kuncupku memekarkan seloka putih, kuning juga merah. merubah kelam menjadi cerah. melantunkan duka menjadi madah. hingga debu tak lagi menoktah di cabang-cabang resah.
Namun malang sungguh tak mampu kudulang ke lembah sebrang. tatkala kumbang-kumbang jantan berdatangan. berebut berdesakan, memagut menandaskan sari pati cintaku dari celah ranum bibirku yang paling lembut memaut namamu.
Selembut kupu-kupu mengepakkan sayap-sayap rindu paling candu, dengan syair cinta paling merdu.
ke setiap helai daunku, ke setiap ruas rantingku dan ke seluruh kulit batangku. hingga angin pun tergetar menderu, menebarkan wangi cintaku ke langit paling tinggi. melampaui istana bidadari. menjumpaimu di seribu taman mimpi.
Namun kini aku terjatuh ke lembah paling sunyi. dengan duri-duri tajam memagari. setelah kumbang-kumbang tualang melesat pergi dan hanya menyisakan sepotong perih pada kelopakku yang koyak dan layu. lantas bagaimana bisa aku membawa rerupaku melintasi subuh. memberimu suguhan cinta paling utuh. dan menghidangkan embun-embun jernih ke hadapan fajar yang putih.
sedang sedih ini telah di mulai dan getirpun siap kutuai
dari sini
Duh Gusti…
Jakarta, Oktober 2010
Kembang Kopi
Lalu ranting-ranting kopi yang liat
memekarkan kuncup-kuncup wangi
menggugurkan dingin yang pekat
di mula pagi
hingga laku kita seperti hendak terhenti
menekuri garis-garis kembara muda yang telah menyatu
dengan segala warna
seperti mencoba mengeja sebuah pesan yang singgah
lalu lekat menyelubungi kedua mata
pesan yang seperti uap tipis
melesat ringan sebelum kau tepis
kemudian kita melihat helai-helai daun merunduk
lalu gugur dengan tawadu’
mengabarkan kepada tanah
dan setiap langkah
bahwa segala sembah sujud menjadi akar
yang lalu mengurai dalam kehangatan fajar
membawa sejumput iman kita
turut mendaki matahari
yang semakin meninggi
membenamkan kita kedalam lunglai
menyangga segala kealpaan diri
Blitar, Syawal 1431 H
memekarkan kuncup-kuncup wangi
menggugurkan dingin yang pekat
di mula pagi
hingga laku kita seperti hendak terhenti
menekuri garis-garis kembara muda yang telah menyatu
dengan segala warna
seperti mencoba mengeja sebuah pesan yang singgah
lalu lekat menyelubungi kedua mata
pesan yang seperti uap tipis
melesat ringan sebelum kau tepis
kemudian kita melihat helai-helai daun merunduk
lalu gugur dengan tawadu’
mengabarkan kepada tanah
dan setiap langkah
bahwa segala sembah sujud menjadi akar
yang lalu mengurai dalam kehangatan fajar
membawa sejumput iman kita
turut mendaki matahari
yang semakin meninggi
membenamkan kita kedalam lunglai
menyangga segala kealpaan diri
Blitar, Syawal 1431 H
Kenanga
Kelopakmu jatuh satu-satu
dari batang yang menjulang
dari musim yang mengajakmu
kembali berpulang
matahari telah membagimu kuning yang merata
angin menitipkanmu wewangian surga
biarkan kupunguti helai-helaimu yang terpisah
tersembunyi di kaki-kaki perdu
membebaskanmu dari celah-celah batu
dan tak perlu kau peram duka
pada tanah merah
yang basah oleh embun-embun doa
angin telah mengabarkan wangimu
pada pintu-pintu pusara
Blitar-Jakarta, Syawal 1431 H
dari batang yang menjulang
dari musim yang mengajakmu
kembali berpulang
matahari telah membagimu kuning yang merata
angin menitipkanmu wewangian surga
biarkan kupunguti helai-helaimu yang terpisah
tersembunyi di kaki-kaki perdu
membebaskanmu dari celah-celah batu
dan tak perlu kau peram duka
pada tanah merah
yang basah oleh embun-embun doa
angin telah mengabarkan wangimu
pada pintu-pintu pusara
Blitar-Jakarta, Syawal 1431 H
Dermaga Sepi
Di senja yang datang kembali
kutangkup kilasan angin
meninggalkan perigi
dermagamu sepi
kulihat debur ombak berderak
menggugurkan buih
dan punggung karang tegak
menampung jeritan camar
yang sedih
seorang penyair meminjam pasirmu
rumah bagi para kepiting dan kerang
sebagai lantunan tembang
rindu yang hilang
dan membawanya kepada lembaran malam
dimana senyap akrab mendekap tangis
hujan yang turun kemudian
oh, lihatlah dermagamu kini menua
dan penyair itu mulai kehabisan kata
lantas apa yang bisa kubawa
untuk pergi
sebelum langit pecah
menggugurkan pagi
Jakarta, Syawal 1431 H
kutangkup kilasan angin
meninggalkan perigi
dermagamu sepi
kulihat debur ombak berderak
menggugurkan buih
dan punggung karang tegak
menampung jeritan camar
yang sedih
seorang penyair meminjam pasirmu
rumah bagi para kepiting dan kerang
sebagai lantunan tembang
rindu yang hilang
dan membawanya kepada lembaran malam
dimana senyap akrab mendekap tangis
hujan yang turun kemudian
oh, lihatlah dermagamu kini menua
dan penyair itu mulai kehabisan kata
lantas apa yang bisa kubawa
untuk pergi
sebelum langit pecah
menggugurkan pagi
Jakarta, Syawal 1431 H
Karang Sunyi
Karang menegur lautan
ombak melepas sampan
menuju pesisir
angin meniup jejak camar
di ufuk senja menabur pelangi
jemari lautan menggapai takdirmu
melampaui sunyi
menitik buih ruh kedalam sukmamu
mengusap kikisan luka, serupa getar cinta
dalam kau sembunyikan
sejak kau tumbuh
bersama lautan
tapak kepiting dan kerang menggenang
di liang-liangmu
serupa pahatan terumbu
terkekalkan oleh waktu
lalu di pantaimu kutitipkan segala perih
bersama desah ombak
mendekap sunyi rindumu
yang sedih
Jakarta, Oktober 2010
ombak melepas sampan
menuju pesisir
angin meniup jejak camar
di ufuk senja menabur pelangi
jemari lautan menggapai takdirmu
melampaui sunyi
menitik buih ruh kedalam sukmamu
mengusap kikisan luka, serupa getar cinta
dalam kau sembunyikan
sejak kau tumbuh
bersama lautan
tapak kepiting dan kerang menggenang
di liang-liangmu
serupa pahatan terumbu
terkekalkan oleh waktu
lalu di pantaimu kutitipkan segala perih
bersama desah ombak
mendekap sunyi rindumu
yang sedih
Jakarta, Oktober 2010
Nyanyian Perigi
Di ceruk perigi
di sepi pagi
laut menggelar sujud
karang dan gelombang
saling berpaut
sekumpulan camar terbang rendah
dari paruhnya kesedihan berkisah
seekor merpati menukik lalu meninggi
entah kemana pasangannya pergi
sedang jarak terlalu jauh
dari tepi
petangnya ombak mendamparkan wangi garam
orang-orang pesisir yang kemudian pulang
mendekap sirip-sirip sungsang
maka rekahlah bibir tumang
mencium hangat pada dingin arang
para ibu menyaji kuali
sedap meluap di tungku-tungku
yang terberkati
malamnya anak-anak nelayan memeram kidung
di riap kerudung
di tangkup sarung
mengaji mimpi di ceruk perigi
mencuri nur dari ruh Illahi
Jakarta, Oktober 2010 (Dzulqa’idah 1431 H)
di sepi pagi
laut menggelar sujud
karang dan gelombang
saling berpaut
sekumpulan camar terbang rendah
dari paruhnya kesedihan berkisah
seekor merpati menukik lalu meninggi
entah kemana pasangannya pergi
sedang jarak terlalu jauh
dari tepi
petangnya ombak mendamparkan wangi garam
orang-orang pesisir yang kemudian pulang
mendekap sirip-sirip sungsang
maka rekahlah bibir tumang
mencium hangat pada dingin arang
para ibu menyaji kuali
sedap meluap di tungku-tungku
yang terberkati
malamnya anak-anak nelayan memeram kidung
di riap kerudung
di tangkup sarung
mengaji mimpi di ceruk perigi
mencuri nur dari ruh Illahi
Jakarta, Oktober 2010 (Dzulqa’idah 1431 H)
Makrifat Hati
Adalah syukur
tempat rasa berbaring tenang
ketika getar hati berkecamuk, menggelombang
dan biarkan lengan pagi yang mengayun butiran embun
hingga bergulir, jatuh ke pangkuan tanah
menyapu debu-debu ragu diantara genangan resah
adalah malam
yang membiarkan angan
melukis sendiri warna-warna senyap
dan menggantungkannya di dinding kenang yang mulai kusam
namun tatap nyaman sebagai sandaran rindu yang bisu
lalu tuntun aku meletakkan sejumput rasa ini
di atas sulaman lembut benang-benang ikhlas
dan menjadikannya sebagai tirai penghias
diambang pintu lorong hati, yang tersembunyi
2009
tempat rasa berbaring tenang
ketika getar hati berkecamuk, menggelombang
dan biarkan lengan pagi yang mengayun butiran embun
hingga bergulir, jatuh ke pangkuan tanah
menyapu debu-debu ragu diantara genangan resah
adalah malam
yang membiarkan angan
melukis sendiri warna-warna senyap
dan menggantungkannya di dinding kenang yang mulai kusam
namun tatap nyaman sebagai sandaran rindu yang bisu
lalu tuntun aku meletakkan sejumput rasa ini
di atas sulaman lembut benang-benang ikhlas
dan menjadikannya sebagai tirai penghias
diambang pintu lorong hati, yang tersembunyi
2009
Luruh
dan awan-awan putih
juga embun-embun jernih
perlahan pergi
meninggalkan doa-doa wangi
mengisi penuh cungkup hati
yang paling bersih
biarkan kami eja
asmaMu
di lubuk suluk paling rindu
yang tergenangi seribu sedih
juga seribu gurat luka
yang perih
lalu lesatkan diri kami
dari tempat paling rendah
hingga mampu menatap parasMu
di puncak paling habbah
Jakarta, 27 Januari 2011 (21 Shofar 1432 H)
juga embun-embun jernih
perlahan pergi
meninggalkan doa-doa wangi
mengisi penuh cungkup hati
yang paling bersih
biarkan kami eja
asmaMu
di lubuk suluk paling rindu
yang tergenangi seribu sedih
juga seribu gurat luka
yang perih
lalu lesatkan diri kami
dari tempat paling rendah
hingga mampu menatap parasMu
di puncak paling habbah
Jakarta, 27 Januari 2011 (21 Shofar 1432 H)
Fragmen Pagi
pada sebuah malam yang kau singgahi
adakah kau temu pembaringan
yang paling sepi
hingga dingin membalurimu senyap
bintang di atap menjatuhimu sekejap kerlap
kemudian kau memanggilku
dari tepian arah
mengajak kita bersama rebah
membiarkan luka-luka ini luruh
terbasuh gerimis yang membawa kita menziarahi subuh
maka bersemailah segala ruh
pada waktu dan musim tiba menuai tanggal
beri aku tanda darimu
pembuka pintu bagi segala sesal
sebelum matahari membakar
fajar yang tinggal sejengkal
Jakarta, November 2010 (Dzulhijjah 1431 H)
adakah kau temu pembaringan
yang paling sepi
hingga dingin membalurimu senyap
bintang di atap menjatuhimu sekejap kerlap
kemudian kau memanggilku
dari tepian arah
mengajak kita bersama rebah
membiarkan luka-luka ini luruh
terbasuh gerimis yang membawa kita menziarahi subuh
maka bersemailah segala ruh
pada waktu dan musim tiba menuai tanggal
beri aku tanda darimu
pembuka pintu bagi segala sesal
sebelum matahari membakar
fajar yang tinggal sejengkal
Jakarta, November 2010 (Dzulhijjah 1431 H)
Di Tanjung Benoa
Setelah melampaui jalanan
dengan barisan batu berukir
sampailah perjalanan
di pantai berpasir
lautan biru
senyum dan tawa awakawak perahu
ada jejak langkah bergambar kepiting dan kerang
beberapa banana boad juga kasur terbang
menyemburkan percikanpercikan doa ke awan
wajahwajah merunduk menekuri tarian para ganggang
roti pun segera di bagikan
lalu matahari di atas perak
dermaga tuntas terhempas gelak
dan ombak bergegas menepikan jarak
orangorang riuh menghitung doa dan waktu
menitipkannya di kantung jantung penyu
Sanur, Desember 2010 (Muharram 1432 H)
dengan barisan batu berukir
sampailah perjalanan
di pantai berpasir
lautan biru
senyum dan tawa awakawak perahu
ada jejak langkah bergambar kepiting dan kerang
beberapa banana boad juga kasur terbang
menyemburkan percikanpercikan doa ke awan
wajahwajah merunduk menekuri tarian para ganggang
roti pun segera di bagikan
lalu matahari di atas perak
dermaga tuntas terhempas gelak
dan ombak bergegas menepikan jarak
orangorang riuh menghitung doa dan waktu
menitipkannya di kantung jantung penyu
Sanur, Desember 2010 (Muharram 1432 H)
Langganan:
Postingan (Atom)